19 Apr 2013

Laporan Inklusi II



LAPORAN OBSERVASI TUNANETRA
(SMK NEGERI 8 SURAKARTA)


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi
Dosen Pengampu : Dr. Nonoh Siti Aminah, M.Pd

DISUSUN OLEH:
1.     Bariqul Amalia Nisa                (K2311011)
2.     Dwi Putri Sabariasih               (K2311022)
3.     Uly Azmi Masna                      (K2311080)


PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan kebutuhan setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidup agar lebih bermartabat dan untuk mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaranatau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem Pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Penyandang tunanetra merupakan individu yang memiliki hak yang sama seperti individu normal di dalam pendidikan. Hak mereka tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 1997 tentang penyandang cacat pasal 11 yang berbunyi setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan untuk mendapat pendidikan pada satuan, jalur, dan jenjang pendidikan sesuai jenis dan derajat kecacatan, sedangkan pasal 12 menekankan bahwa setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis dan pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya serta kemampuannya. Dengan demikian hak para penyandang cacat termasuk para penyandang tunarungu memperoleh kesempatan yang sama dalam pendidikan dan hal tersebut dijamin oleh undang-undang.
Pentingnya pemberian pendidikan khusus bagi anak yang mengalami hambatan penglihatan di Indonesia masih sangat kurang usaha dan antusiasnya. Hal ini terlihat pada kesadaran sebagian besar para orangtua yang belum memberikan pendidikan yang baik kepada anaknya yang mengalami hambatan dalam penglihatan. Pentingnya pendidikan dini di keluarga berdampak pada kondisi anak saat masuk ke lingkungan sekolah. Apabila orangtua sejak dini sudah memberikan pendidikan, kondisi anak ketika masuk sekolah tidak begitu buruk. Namun bagi orangtua yang belum memberikan pendidikan bagi anaknya hal ini bisa dilihat dari kondisi anak saat memasuki bangku sekolah yang mengalami kesulitan. Anak dalam keadaan tidak tahu tentang dirinya yaitu bahwa dirinya mengalami hambatan dalam penglihatan.
Kurangnya sikap menerima dan ikhlas dari orangtua juga ikut mewarnai pendidikan bagi anak tunanetra. Sikap tidak mau menerima dengan kenyataan yang ada membuat kondisi anak semakin menarik diri. Ini jelas mengganggu perkembangan psikologisnya. Anak yang memiliki sejuta potensi terancam tidak bisa dikembangkan dengan maksimal.
Untuk itu mulailah menumbuhkan kesadaran bahwa anak tunanetra juga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, memiliki kebutuhan untuk bisa diterima di dalam masyarakat dengan keterbatasan yang ada serta perlunya dukungan secara moril untuk perkembangan mental anak tunanetra supaya memiliki kepercayaan diri terhadap potensi yang dimilikinya. Perlu juga mengubah paradigma lama tentang anak tunanetra bahwa anak tunanetra tidak mampu untuk hidup mandiri. Yang terpenting adalah sikap orangtua untuk menerima dengan ikhlas kondisi keterbatasan pada anak.
 Pada kesempatan ini dilakukan observasi anak tunanetra di SMK Negeri 8 Surakarta. Dimana sekolah tersebut merupakan sekolah inklusi yang menerima ABK dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK).

1.2       TUJUAN
1.      Mengetahui pengertian tunanetra dan klasifikasinya
2.      Mengetahu faktor penyebab ketunanetraan
3.      Mengetahui karakteristik anak tunanetra dan strategi belajarnya
4.      Mengetahui sistem pendidikan (kurikulum), model pembelajaran, model tes,media pembelajaran anak tunanetra di sekolah reguler
5.      Mengetahui hambatan dalam kegiatan belajar-mengajar pada anak tunanetra di sekolah reguler




BAB II
ISI

2.1 PELAKSANAAN OBSERVASI
Observasi kami lakukan dua kali yang bertempat di SMK Negeri 8 Surakarta. SMK Negeri 8 Surakarta terletak di JL. Sangihe, Kepatihan Wetan Jebres Surakarta, Jawa Tengah.. Pada tanggal 16 Maret 2013 kami berangkat pada pukul 09.30 WIB dan berakhir melakukan observasi pada pukul 11.30 WIB. Sesampai disana kami menyerahkan surat izin observasi dan langsung diberi kesempatan untuk melakukan observasi . Setelah itu kami diajak menuju ruang Bimbingan Konseling. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan kami datang ke SMK Negeri 8 Surakarta  kami langsung mewawancarai Ibu Sri Saptaningsih selaku Guru Bimbingan Konseling. Pada hari sabtu kami tidak bisa  mewawancarai siswa tunanetra yang bersekolah di SMK Negeri 8 Surakarta karena pada saat kami sampai disana KBM sudah dibubarkan karena pada hari senin akan diadakan Ujian Sekolah. Kemudian pada hari selasa 19 Maret 2013 kami kembali melakukan observasi untuk mewawancarai langsung siswi tunanetra, setelah menunggu 1 jam akhirnya kami bias mewawancarai siswi tunanetra setelah ia selesai mengikuti Ujian sekolah. Kami tidak bias melakukan observasi saat di kelas mengingat sedang diadakan Ujian sekolah, sehingga observasi kami lakukan dengan wawancara.


2.2  identitas sekolah  
       Nama Sekolah                                           :  SMK Negeri 8 Surakarta
       Nama Sekolah Lama                          :  1. Konservatori Karawitan (KOKAR)
                                                                     2. SMKI Negeri Surakarta
       Nomor Statistik Sekolah (NSS)         :  781036104001
       Nomor Induk Sekolah (NIS)             :  400008
       Nomor Pokok Sekolah Nasional        :  20328154
       Status Sekolah                                   :  Negeri
       Waktu Penyelenggaraan                    :  Pagi
       Alamat
               Jalan                                           :  Sangihe
               Kelurahan                                   :  Kepatihan Wetan
               Kecamatan                                 :  Jebres
               Kota                                           :  Surakarta
               Propinsi                                      :  Jawa Tengah
               Kode Pos                                   :  57129
               Nomor Telepon                          :  (0271) 632225
               Nomor Fax                                 :  (0271) 636074
               E-mail                                         :  smkn8_surakarta@yahoo.com
               Web Site                                    :  smkn3solo.net
Surat Keputusan Pendirian
               SK Pendirian                              :  Nomor. 554/K/3-b
               Tanggal                                      :  17 Juli 1950
               Pembukaan                                 :  27 Agustus 1950
               SK Perubahan Nama I               :  Nomor.0292/0/1976
               Tanggal                                      :  9 Desember 1976
               SK terakhir Status Sekolah        :  Nomor.036/0/1997
               Tanggal                                      :  7 Maret 1997
Lembaga Pengeluar SK             : Departemen Pendidikan dan KebudayaanRI
   Kepala Sekolah
               Nama Lengkap                           :  Dra. Ties Setyaningsih,M.Pd,MM
               NIP                                            :  19660524 199601 2 001
               No. SK Pengangkatan               :  821.2/209/2012
               Tanggal                                      :  13 Sepetember 2012
               TMT                                           :  13 Desember 2012
               Lembaga Pengeluar SK             :  Wali Kota Surakarta
       Bidang Keahlian                                :  Seni Pertunjukan
       Program Keahlian                              :  Seni Karawitan
                                                                     Seni Tari
                                                                     Seni Pendalangan
                                                                     Seni Musik
                                                                     Seni Teater
       Tanah dan Bangunan
               Status Tanah                              :  Milik Sendiri
               Luas Tanah                                 :  18.137 m²
               Luas Bangunan                          :  7.217.02 m²
               Nomor Pokok Wajib Pajak        :  00.004.227.5.526
               Nomor Sertifikat Tanah             :  29 dan 44
       Akreditasi Sekolah
               Lembaga Pengeluar SK             :  BAN Propinsi Jawa Tengah
               Nomor                                        : 
               Tanggal                                      :  9 Nopember 2010
               Komp. Keahlian S. Karawitan   :  Terakreditasi A Nilai 93
               Komp. Keahlian S. Tari             :  Terakreditasi A Nilai 93
               Komp. Keahlian S. Pedalangan :  Terakreditasi A Nilai 92
               Komp. Keahlian S.Musik           :  Terakreditasi A Nilai 90
       Sertifikat ISO 9001 : 2008
               Status                                         :  Tersertifikasi
               Nomor                                        :  01 100 065387
               Tanggal                                      :  27 Agustus 2009
               Lembaga Pengeluar                    :  PT TUV Rheinland Group
       Penetapan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
               Nomr                                          :  4294/C5/Kep/KU/2009
               Tanggal                                      :  07 Oktober 2009
               Lembaga Pengeluar                    :  Direktorat Pembinaan SMK
       Nomor Rekening                                :  Bank BRI Cabang Urip Sumoharjo
                                                                     (atas nama SMK Negeri 8 Surakarta)
                                                                     1065-01-000553-53-3
Visi Sekolah


Menjadi Sekolah pelestari budaya, berkarakter, professional, membumi dan mengglobal

Misi Sekolah
a. Menumbuhkan semangat dalam melestarikan budaya
b. Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran Agama yang dianut dan budaya bangsa sebagai sumber kearifan dalam bertindak.
c. Melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara optimal yang berorientasi pada pencapaian keunggulan kompetensi berstandar Nasional / Internasional.
d. Mengembangkan hubungan sekolah dengan institusi pasangan yang mempunyai reputasi Nasional / Internasional secara berkelanjutan.
e. Menerapkan prinsip-prinsip manajemen mutu sebagai suatu proses peningkatan unjuk kerja.

TUJUAN SEKOLAH
1. Menghasilkan tamatan pelestari budaya bangsa yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Menghasilkan tamatan yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap professional dalam bidang seni pertunjukan.
3. Menghasilkan tamatan yang mampu memasuki dunia kerja ditingkat nasional maupun internasional, serta mampu berwirausaha secara profesional.
4. Mewujudkan sekolah menjadi SMK bertaraf Internasional.

SASARAN
1. Mencetak tenaga kerja yang trampil dalam bidang seni Karawitan, Tari, Pedalangan,   Musik dan Teater, sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
2. Sebagai pelestari dan pengembang kesenian yang relevan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat

FASILITAS SEKOLAH
1. R. Teori
2. R. Praktik/Studio Karawitan 
3. R. Praktik/Studio Tari 
4. R. Praktik/Studio Pedalangan
5. R. Praktik/Studio Musik 
6. R. Praktik/Studio Teater/ Open Stage
7. R. Practical/Auditorium
8. R. Praktik/Pendapa / Joglo 
9. R. Studio Rekaman 
10. R. Lab. Komputer 
11. R. Lab. Bahasa 
12. R. Lab Multimedia 
13. R. Lab. IPA
14. R. Perpustakaan 
15. Lap. Tennis
16. Lap. Volly Ball
17. Masjid 
18. Internet On-line / Hotspot Area
19. Koperasi Sekolah / Kantin 



2.3  HASIL OBSERVASI
a. Dengan Guru Bimbingan Konseling
     Guru Bimbingan Konseling SMK Negeri 8 Surakarta yang kami wawancarai bernama Ibu Sri Saptaningsih. Beliau adalah lulusan Pendidikan Luar Biasa UNS. Beliau diangakat menjadi PNS pada tahun 1981. Sejak awal kelulusannya beliau mengajar di SMK Negeri 8 Surakarta.
Menurut penuturan Ibu Sri Saptaningsih tidak ada perbedaan kurikulum antara anak tidak berkebutuhan khusus (ATBK) dan anak berkebutuhan khusus (ABK), hanya ada modifikasi. Dari segi metode pembelajaran ada sedikit perbedaan yaitu adanya metode pull out pada waktu-waktu tertentu. Metode pull out dilaksanakan ketika siswa tuna netra ataupun siswa ABK lainnya mengalami kesusahan dalam pelajaran dan meminta pembelajaran tersendiri untuknya. Metode pull out ini bias dilaksanakan di luar jam pelajaran ada pula yang dilakukan bersamaan dengan jam pelajaran. Tutor sebaya juga merupakan metode yang digunakan di SMK Negeri 8 Surakarta, karena hal ini cukup membantu siswa ABK yang mengalami kesusahan. Contohnya : siswa yang pandai karawitan mengajari siswa tuna netra belajar karawitan.
Ibu Sri Saptaningsih juga memberikan penjelasan bahwa media yang dipergunakan bagi ATBK dengan ABK tunanetra pada intinya sama, hanya untuk anak ABK tuna netra media yang digunakan diusahakan lebih konkret, konsep materi harus jelas,  dan ABK tuna netra dapat merasakan, mengalaminya secara langsung. Contohnya adalah konsep mengenai panas, maka siswa tuna netra dikenalkan langsung dengan panas yaitu dengan cara  tangannya didekatkan pada lilin yang menyala. Dengan cara tersebut maka ABK tuna netra lebih memahami konsep panas. Sedangkan untuk mata pelajaran yang biasa menggunakan kemampuan hafalan, pihak sekolah meminjamkan mp4 yang berisi rekaman materi. Pinjaman mp4 ini boleh dibawa pulang, sehingga ABK tuna netra ini dapat tetap belajar mandiri di rumah. Guru juga dituntut lebih kreatif dalam membuat dan menggunakan media, agar ABK tuna netra dapat memahami materi. Dalam menjelaskan materi pun guru harus memilih diksi yang mudah dipahami oleh ABK tuna netra ,selain itu agar mereka dapat membayangkan apa yang dijelaskan gurunya. Untuk menunjang kreativitas guru maka diadakan training penulisan huruf Braille bagi guru-guru di SMK Negeri 8 Surakarta, sehingga saat ini para guru sudah memahami dan mampu menulis huruf Braille walaupun belum terlalu mumpuni.
Model tes di SMK Negeri 8 Surakarta sama seperti sekolah-sekolah lainnya, yaitu tes dilakukan secara bersama-sama di dalam kelas. Akan tetapi ada kekhususan bagi seluruh anak ABK, mereka dikumpulkan di ruang BK kemudian mengerjakan tes di ruang BK. Bagi siswa tuna netra ada guru yang membacakan soalnya. Idealnya siswa tuna netra itu kemudian mengerjakan soal dan menulis jawabannya dalam huruf Braille, kemudian jawaban yang bertuliskan huruf Braille itu ditransfer dalam huruf alphabet. Jawaban siswa tuna netra yang menggunakan huruf Braille itu sebagai bukti otentik bahwa siswa tuna netra mengerjakan sendiri soal tesnya. Akan tetapi kenyataanya, yang menulis jawaban adalah guru yang membacakan soal, jawabannya murni dari siswa tuna netra. Hal ini sering terjadi karena mengerjakan soal tes secara ideal dilakukan oleh siswa tuna netra membutuhkan waktu lama, sehingga pihak sekolah mengijinkan guru yang menulis jawabannya. Selain itu untuk seluruh siswa ABK diberikan tambahan waktu dalam mengerjakan soal tes mengingat keterbatasan yang mereka miliki.
Di SMK Negeri 8 Surakarta tidak ada guru pendamping khusus (GPK). Guru pendamping khusus (GPK) ini akan didatangkan ke SMK Negeri 8 Surakarta ketika ada kesulitan yang tidak dapat diatasi oleh pihak sekolah. GPK ini biasanya didatangkan dari YKAB Surakarta.
Walaupun siswa tuna netra mempunyai keterbatasan, akan tetapi keterbatasan ini tidak menghalangi semangat mereka untuk berprestasi bahkan dalam olimpiade dan tetap semangat untuk melanjutkan sekolah. Contohnya adalah siswa SMK Negeri 8 Surakarta, Maryatun yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, saat ini Maryatun sedang melanjutkan studinya di ISI Solo. Kebanyakan dari lulusan SMK Negeri 8 Surakarta yang ABK memilih untuk melanjutkan di ISI. Karena pada dasarnya mereka berasal dari SMK.
Bagi siswa ABK setiap hari senin – jumat mereka selalu mengunjungi ruangan BK, karena pada hari-hari itu mereka harus berkoordinasi, lapor dan lain-lain. Terkadang mereka juga menitipkan barang-barang mereka di ruang BK seperti menitipkan kursi roda atau yang lainnya. Guru BK di SMK Negeri 8 Surakarta mempunyai peranan penting terhadap ABK, karena Guru BK yang sering berkordinasi dengan wali murid ABK mengenai hal-hal yang dapat menunjang kebaikan bagi ABK.
Menurut penuturan Ibu Sri Saptaningsih di SMK Negeri 8 Surakarta terdapat 11 siswa ABK, dengan rincian tuna netra 5 siswa (1 siswa kelas XII, 2 siswa kelas XI, dan 2 siswa kelas X), Tuna Daksa 1 siswa kelas XII, Low Vission 2 siswa (1 siswa kelas XI dan I siswa kelas X), autis 1 siswa kelas XI, kurang pendengaran 1 siswa kelas X, dan amputasi lengan kanan kelas XII.

b. Dengan Siswi Tuna Netra
     Nama               : Tri Rizki Wahyu Djari
     Kelas               : XII
     Jurusan            : Musik
     Alamat                        : Vila Payung Indah A no.38, Pundakpayung,Semarang
     Hambatan        : Buta total
     Siswi tuna netra yang kami wawancarai ini biasa dipanggil Rizki. Rizki sebenarnya berasal dari Jayapura, akan tetapi sejak 3 tahun yang lalu pindah ke Semarang. Sebelumnya Rizki tinggal di asrama YKAB Surakarta, akan tetapi sejak memasuki kelas XII ia pindah dan lebih memilih kos di dekat sekolahnya SMK Negeri 8 Surakarta karena mendekati Ujian Nasional. Ibu Kosnya mengantarnya ke sekolah ketika ia akan berangkat ke sekolah.
Kebutaan yang dialami Rizki tidak diperoleh sejak lahir. Awalnya ia adalah yang normal, akan tetapi semuanya berubah ketika tahun 2005 ia mengidap penyakit hipertiroid yaitu saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Penyakit hipertiroid ini kemudian menyerang saraf matanya sehingga ia menjadi buta di tahun 2008. Sampai saat ini Rizki masih mengkonsumsi obat untuk hopertiroid, jika penyakitnya sembuh maka Rizki akan bisa melihat lagi. Terkadang saat penyakitnya ini sedikit membaik, ia dapat melihat bayangan. Akan tetapi ketika ia sedang mengalami stree maka tenggorokannya terasa sangat sakit sekali, “seperti dicekik orang” ujar Rizki ketika kami wawancarai. Bagi Rizki yang mengalami kebutaan, tidur merupakan hiburan yang cukup menyenangkan untuk dirinya.
Walaupun Rizki mengalami keterbatasan, Rizki mempunyai kelebihan, di antaranya ia lancar berbahasa Inggris dan menurutnya bahasa Inggris itu lebih mudah daripada Bahasa Jawa, selain itu ia tetap memiliki cita-cita yang tinggi. Awalnya ia ingin menjadi pemusik, akan tetapi karena pariturenya susah, Rizki lebih memilih menjadi Guru. Saat ini Rizki sedang mengurus pendaftaran SNMPTN di UNNES dengan pilihan Pendidikan dan Sastra Inggris, dan di UNS ia memilih PLB dan PGSD.

2.4 PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI TUNANETRA
Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat melihat (KBBI, 1989:p.971) dan menurut literatur berbahasa Inggris visually handicapped atau visual impaired. Pada umumnya orang mengira bahwa tunanetra identik dengan buta, padahal tidaklah demikian karena tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.
Anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak yang rusak penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan (Scholl, 1986:p.29). Pengertian ini mencakup anak yang masih memiliki sisa penglihatan dan yang buta.
Dengan demikian, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas.
Klasifikasi yang dialami oleh anak tunanetra, antara lain :
v  Menurut Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :
  1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
  2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
  3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
  4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
  5. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
  6. Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)

v  Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu :
1.      Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
2.      Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
3.      Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.

v  Menurut WHO, klasifikasi didasarkan pada pemeriksaan klinis, yaitu :
1.    Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
2.    Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.

v  Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :
1.    Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh pelayanan medik.
2.    Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang khusus.

v  Kirk (1962:p.214) mengutip klasifikasi ketunanetraan, yaitu :
1.      Anak yang buta total atau masih memiliki persepsi cahaya sampai dengan 2/2000, ia tidak dapat melihat gerak tangan pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
2.      Anak yang buta dengan ketajaman penglihatan sampai dengan 5/200, ia tidak dapat menghitung jari pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
3.      Anak yang masih dapat diharapkan untuk berjalan sendiri, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 10/200, ia tidak dapat membaca huruf-huruf besar seperti judul berita pada koran.
4.      Anak yang mampu membaca huruf-huruf besar pada koran, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 20/200, akan tetapi ia tidak dapat diharapkan untuk membaca huruf 14 point atau tipe yang lebih kecil.
5.      Anak yang memiliki penglihatan pada batas ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih, akan tetapi ia tidak memiliki penglihatan cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan penglihatan dan anak ini tidak dapat membaca huruf 10 point.

v  Menurut Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan yang terjadi pada mata, yaitu :
Kelainan ini disebabkan karena adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain :
  • Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
  • Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.
  • Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.

2.5 FAKTOR PENYEBAB KETUNANETRAAN
Faktor yang menyebabkan terjadinya ketunanetraan antara lain:
1.      Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:
a. Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.
b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan dapat disebabkan oleh:
  • Gangguan waktu ibu hamil.
  • Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.
  • Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
  • Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
  • Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
2.      Post-natal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain:
  1. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.
  2. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
  3. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:
  • Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
  • Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
  • Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
  • Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
  • Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh darah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
  • Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
  • Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.
  • Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.

2.6 KARAKTERISTIK ANAK TUNANETRA
1. Fisik (Physical)
Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya. Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya.
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya :
  • Mata juling
  • Sering berkedip
  • Menyipitkan mata
  • (kelopak) mata merah
  • Mata infeksi
  • Gerakan mata tak beraturan dan cepat
  • Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)
  • Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
2. Perilaku (Behavior)
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini :
  • Menggosok mata secara berlebihan.
  • Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan.
  • Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata.
  • Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan.
  • Membawa bukunya ke dekat mata.
  • Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
  • Menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi.
  • Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
  • Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
  • Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh.
Penjelasan lainnya berdasarkan adanya beberapa keluhan seperti :
  • Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal.
  • Banyak mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat.
  • Merasa pusing atau sakit kepala.
  • Kabur atau penglihatan ganda.
3. Psikis
Secara psikis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
b. Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan, gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya.
Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
  1. Curiga terhadap orang lain
  2. Perasaan mudah tersinggung
  3. Ketergantungan yang berlebihan
5. Low Vision
Beberapa ciri yang tampak pada anak low vision antara lain:
  1. Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat.
  2. Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
  3. Mata tampak lain; terlihat putih di tengah mata (katarak) atau kornea (bagian bening di depan mata) terlihat berkabut.
  4. Terlihat tidak menatap lurus ke depan.
  5. Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu.
  6. Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari.
  7. Pernah menjalani operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas.

2.7              STRATEGI BELAJAR
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1)      Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak (di satu sisi).
2)      Upaya pemanfaatan secara optimal indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :
1) Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di samping adanya perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap perlunya (Individual Education ProgramIEP).
2) Prinsip kekonkritan/pengalaman Penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya. Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung. Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki dimensi jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran. Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan disampaikan pada bagian khusus.
3) Prinsip Totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini disebut sebagai multi sensory approach, yaitupenggunaan semua alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4) Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.
2.8 HAMBATAN PELAKSAAN PENDIDIKAN ANAK TUNANETRA
Pada umumnya anak tunanetra mengalami berbagai hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
1.    Curiga terhadap orang lain
Akibat dari keterbatasan rangsangan visual, anak tunanetra kurang mampu berorientasi dengan llingkungan, sehingga kemampuan mobilitaspun akan terganggu. Sikap berhati-hati yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain.
Untuk mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan bergerak dan berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan mobilitas, upaya mempertajam fungsi indera lainnya akan membantu anak tunanetra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan rasa percaya diri.
2.    Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan kecewa menjadikan seorang tunanetra yang emosional.
3.    Ketergantungan yang berlebihan
Ketergantungan ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung mengharapkan pertolongan orang lain. Anak tunanetra harus diberi kesempatan untuk menolong diri sendiri, berbuat dan bertanggung jawab. Kegiatan sederhana seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan sendiri sejak kecil.
Kebanyakan anak tunanetra memang cenderung memiliki berbagai masalah baik yang berhubungan dengan masalah pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisian waktu luang, maupun pekerjaan. Permasalahan tersebut perlu diantisipasi dengan memberikan layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan dan kesempatan yang luas bagi anak tunanetra sehingga permasalah yang timbul dalam berbagai aspek dapat ditanggulangi sedini mungkin. Sedangkan pada tahapan sensori motorik, hambatan sosial yang dialami anak tunanetra secara langsung akan menghambat kemampuannya dalam pengamatan dan penginderaan terhadap dunia sekitarnya. Namun  secara umum anak tunanetra cenderung memiliki daya ingat yang tinggi tapi rendah dalam penguasaan konsep dan memiliki indera pendengaran yang sangat tajam.










BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1.      Tunanetra adalah seseorang yang memiliki Hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan.
2.      Faktor penyebab ketunanetraan antara lain pre-natal (saat dalam kandungan) dan post-natal (saat bayi dan setelahnya)
3.      kurikulum antara anak tidak berkebutuhan khusus (ATBK) dan anakberkebutuhan khusus (ABK), hanya ada modifikasi.
4.      Dari segi metode pembelajaran ada sedikit perbedaan yaitu adanya metode pull out pada waktu-waktu tertentu. Tutor sebaya juga merupakan metode yang digunakan di SMK Negeri 8 Surakarta, karena hal ini cukup membantu siswa ABK yang mengalami kesusahan. Contohnya : siswa yang pandai karawitan mengajari siswa tuna netra belajar karawitan.
5.      Media yang dipergunakan bagi ATBK dengan ABK tunanetra pada intinya sama, hanya untuk anak ABK tuna netra media yang digunakan diusahakan lebih konkret, konsep materi harus jelas,  dan ABK tuna netra dapat merasakan, mengalaminya secara langsung. Contohnya adalah konsep mengenai panas, maka siswa tuna netra dikenalkan langsung dengan panas yaitu dengan cara  tangannya didekatkan pada lilin yang menyala.
6.      Model tes di SMK Negeri 8 Surakarta sama seperti sekolah-sekolah lainnya, yaitu tes dilakukan secara bersama-sama di dalam kelas. Akan tetapi ada kekhususan bagi seluruh anak ABK, mereka dikumpulkan di ruang BK kemudian mengerjakan tes di ruang BK. Bagi siswa tuna netra ada guru yang membacakan soalnya. Idealnya siswa tuna netra itu kemudian mengerjakan soal dan menulis jawabannya dalam huruf Braille, kemudian jawaban yang bertuliskan huruf Braille itu ditransfer dalam huruf alphabet


DAFTAR PUSTAKA

http://repository.upi.edu/operator/.../s_plb_054949_chapter2.pdf

LAMPIRAN