LAPORAN
OBSERVASI TUNANETRA
(SMK NEGERI 8 SURAKARTA)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Inklusi
Dosen Pengampu : Dr. Nonoh Siti Aminah, M.Pd
DISUSUN
OLEH:
1.
Bariqul
Amalia Nisa (K2311011)
2.
Dwi
Putri Sabariasih (K2311022)
PENDIDIKAN
FISIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan kebutuhan setiap manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidup agar lebih bermartabat dan untuk mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaranatau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan
bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat (3)
menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
Pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang.
Oleh karena itu seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa
yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Penyandang tunanetra merupakan
individu yang memiliki hak yang sama seperti individu normal di dalam
pendidikan. Hak mereka tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 04
Tahun 1997 tentang penyandang cacat pasal 11 yang berbunyi setiap penyandang
cacat mempunyai kesamaan untuk mendapat pendidikan pada satuan, jalur, dan
jenjang pendidikan sesuai jenis dan derajat kecacatan, sedangkan pasal 12
menekankan bahwa setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan
yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur,
jenis dan pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya serta kemampuannya.
Dengan demikian hak para penyandang cacat termasuk para penyandang tunarungu
memperoleh kesempatan yang sama dalam pendidikan dan hal tersebut dijamin oleh
undang-undang.
Pentingnya pemberian pendidikan
khusus bagi anak yang mengalami hambatan penglihatan di Indonesia masih sangat
kurang usaha dan antusiasnya. Hal ini terlihat pada kesadaran sebagian besar
para orangtua yang belum memberikan pendidikan yang baik kepada anaknya yang
mengalami hambatan dalam penglihatan. Pentingnya pendidikan dini di keluarga
berdampak pada kondisi anak saat masuk ke lingkungan sekolah. Apabila orangtua
sejak dini sudah memberikan pendidikan, kondisi anak ketika masuk sekolah tidak
begitu buruk. Namun bagi orangtua yang belum memberikan pendidikan bagi anaknya
hal ini bisa dilihat dari kondisi anak saat memasuki bangku sekolah yang
mengalami kesulitan. Anak dalam keadaan tidak tahu tentang dirinya yaitu bahwa
dirinya mengalami hambatan dalam penglihatan.
Kurangnya sikap menerima dan
ikhlas dari orangtua juga ikut mewarnai pendidikan bagi anak tunanetra. Sikap
tidak mau menerima dengan kenyataan yang ada membuat kondisi anak semakin
menarik diri. Ini jelas mengganggu perkembangan psikologisnya. Anak yang
memiliki sejuta potensi terancam tidak bisa dikembangkan dengan maksimal.
Untuk itu mulailah menumbuhkan
kesadaran bahwa anak tunanetra juga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang
layak, memiliki kebutuhan untuk bisa diterima di dalam masyarakat dengan
keterbatasan yang ada serta perlunya dukungan secara moril untuk perkembangan
mental anak tunanetra supaya memiliki kepercayaan diri terhadap potensi yang
dimilikinya. Perlu juga mengubah paradigma lama tentang anak tunanetra bahwa
anak tunanetra tidak mampu untuk hidup mandiri. Yang terpenting adalah sikap
orangtua untuk menerima dengan ikhlas kondisi keterbatasan pada anak.
Pada kesempatan ini dilakukan observasi anak
tunanetra di SMK Negeri 8 Surakarta. Dimana sekolah tersebut merupakan sekolah
inklusi yang menerima ABK dan menyediakan sistem layanan pendidikan
yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK).
1.2 TUJUAN
1.
Mengetahui
pengertian tunanetra dan
klasifikasinya
2.
Mengetahu faktor penyebab ketunanetraan
3.
Mengetahui
karakteristik anak tunanetra dan strategi belajarnya
4.
Mengetahui
sistem pendidikan (kurikulum), model pembelajaran, model tes,media pembelajaran
anak tunanetra di
sekolah reguler
5.
Mengetahui
hambatan dalam kegiatan belajar-mengajar pada anak tunanetra di sekolah
reguler
BAB
II
ISI
2.1 PELAKSANAAN
OBSERVASI
Observasi kami lakukan dua kali yang bertempat di SMK Negeri 8 Surakarta. SMK Negeri 8 Surakarta terletak di JL. Sangihe, Kepatihan Wetan Jebres Surakarta, Jawa Tengah.. Pada
tanggal 16 Maret 2013 kami berangkat pada pukul
09.30 WIB dan berakhir melakukan observasi pada pukul 11.30 WIB. Sesampai disana kami menyerahkan surat izin
observasi dan langsung diberi kesempatan untuk melakukan observasi . Setelah
itu kami diajak menuju ruang Bimbingan Konseling. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan kami
datang ke SMK Negeri 8 Surakarta kami
langsung mewawancarai Ibu Sri Saptaningsih selaku Guru Bimbingan Konseling.
Pada hari sabtu kami tidak bisa mewawancarai siswa tunanetra yang bersekolah
di SMK Negeri 8 Surakarta karena pada saat kami sampai disana KBM sudah
dibubarkan karena pada hari senin akan diadakan Ujian Sekolah. Kemudian pada
hari selasa 19 Maret 2013 kami kembali melakukan observasi untuk mewawancarai
langsung siswi tunanetra, setelah menunggu 1 jam akhirnya kami bias
mewawancarai siswi tunanetra setelah ia selesai mengikuti Ujian sekolah. Kami
tidak bias melakukan observasi saat di kelas mengingat sedang diadakan Ujian
sekolah, sehingga observasi kami lakukan dengan wawancara.
2.2 identitas sekolah
Nama Sekolah : SMK Negeri 8 Surakarta
Nama
Sekolah Lama : 1. Konservatori Karawitan (KOKAR)
2.
SMKI Negeri Surakarta
Nomor
Statistik Sekolah (NSS) : 781036104001
Nomor
Induk Sekolah (NIS) : 400008
Nomor
Pokok Sekolah Nasional : 20328154
Status
Sekolah : Negeri
Waktu
Penyelenggaraan : Pagi
Alamat
Jalan : Sangihe
Kelurahan : Kepatihan Wetan
Kecamatan : Jebres
Kota : Surakarta
Propinsi : Jawa Tengah
Kode
Pos : 57129
Nomor
Telepon : (0271) 632225
Nomor
Fax : (0271) 636074
E-mail : smkn8_surakarta@yahoo.com
Web
Site : smkn3solo.net
Surat Keputusan Pendirian
SK Pendirian : Nomor.
554/K/3-b
Tanggal : 17 Juli 1950
Pembukaan : 27 Agustus 1950
SK
Perubahan Nama I : Nomor.0292/0/1976
Tanggal : 9 Desember 1976
SK
terakhir Status Sekolah : Nomor.036/0/1997
Tanggal
: 7 Maret 1997
Lembaga Pengeluar SK : Departemen
Pendidikan dan KebudayaanRI
Kepala Sekolah
Nama
Lengkap : Dra. Ties Setyaningsih,M.Pd,MM
NIP : 19660524 199601 2 001
No.
SK Pengangkatan : 821.2/209/2012
Tanggal : 13 Sepetember 2012
TMT : 13 Desember 2012
Lembaga
Pengeluar SK : Wali Kota Surakarta
Bidang
Keahlian : Seni Pertunjukan
Program
Keahlian : Seni Karawitan
Seni
Tari
Seni
Pendalangan
Seni
Musik
Seni
Teater
Tanah
dan Bangunan
Status
Tanah : Milik Sendiri
Luas
Tanah : 18.137 m²
Luas
Bangunan : 7.217.02 m²
Nomor
Pokok Wajib Pajak : 00.004.227.5.526
Nomor
Sertifikat Tanah : 29 dan 44
Akreditasi
Sekolah
Lembaga
Pengeluar SK : BAN Propinsi Jawa Tengah
Nomor :
Tanggal : 9 Nopember 2010
Komp.
Keahlian S. Karawitan : Terakreditasi A Nilai 93
Komp.
Keahlian S. Tari : Terakreditasi A Nilai 93
Komp.
Keahlian S. Pedalangan : Terakreditasi A Nilai 92
Komp.
Keahlian S.Musik : Terakreditasi A Nilai 90
Sertifikat
ISO 9001 : 2008
Status : Tersertifikasi
Nomor : 01 100 065387
Tanggal : 27 Agustus 2009
Lembaga
Pengeluar : PT TUV Rheinland Group
Penetapan
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)
Nomr : 4294/C5/Kep/KU/2009
Tanggal : 07 Oktober 2009
Lembaga
Pengeluar : Direktorat Pembinaan SMK
Nomor
Rekening : Bank BRI Cabang Urip Sumoharjo
(atas
nama SMK Negeri 8 Surakarta)
1065-01-000553-53-3
Visi Sekolah
Menjadi Sekolah pelestari budaya, berkarakter, professional, membumi dan
mengglobal
Misi Sekolah
a. Menumbuhkan semangat dalam
melestarikan budaya
b. Menumbuhkan penghayatan terhadap
ajaran Agama yang dianut dan budaya bangsa sebagai sumber kearifan dalam
bertindak.
c. Melaksanakan Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) secara optimal yang berorientasi pada pencapaian keunggulan
kompetensi berstandar Nasional / Internasional.
d. Mengembangkan hubungan sekolah
dengan institusi pasangan yang mempunyai reputasi Nasional / Internasional
secara berkelanjutan.
e. Menerapkan prinsip-prinsip
manajemen mutu sebagai suatu proses peningkatan unjuk kerja.
TUJUAN SEKOLAH
1. Menghasilkan tamatan pelestari
budaya bangsa yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Menghasilkan tamatan yang
memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap professional dalam bidang seni
pertunjukan.
3. Menghasilkan tamatan yang mampu
memasuki dunia kerja ditingkat nasional maupun internasional, serta mampu
berwirausaha secara profesional.
4. Mewujudkan sekolah menjadi SMK
bertaraf Internasional.
SASARAN
1. Mencetak tenaga kerja yang
trampil dalam bidang seni Karawitan, Tari, Pedalangan, Musik dan Teater, sesuai dengan kebutuhan
pembangunan.
2. Sebagai pelestari dan pengembang
kesenian yang relevan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat
FASILITAS SEKOLAH
1.
R. Teori
2.
R. Praktik/Studio Karawitan
3.
R. Praktik/Studio Tari
4.
R. Praktik/Studio Pedalangan
5.
R. Praktik/Studio Musik
6.
R. Praktik/Studio Teater/ Open Stage
7.
R. Practical/Auditorium
8.
R. Praktik/Pendapa / Joglo
9.
R. Studio Rekaman
10.
R. Lab. Komputer
11.
R. Lab. Bahasa
12.
R. Lab Multimedia
13.
R. Lab. IPA
14.
R. Perpustakaan
15.
Lap. Tennis
16.
Lap. Volly Ball
17.
Masjid
18.
Internet On-line / Hotspot Area
19.
Koperasi Sekolah / Kantin
2.3 HASIL
OBSERVASI
a. Dengan Guru
Bimbingan Konseling
Guru Bimbingan Konseling
SMK Negeri 8 Surakarta yang kami wawancarai bernama Ibu Sri Saptaningsih.
Beliau adalah lulusan Pendidikan Luar Biasa UNS. Beliau diangakat menjadi PNS
pada tahun 1981. Sejak awal kelulusannya beliau mengajar di SMK Negeri 8
Surakarta.
Menurut
penuturan Ibu Sri Saptaningsih tidak ada perbedaan kurikulum antara anak tidak
berkebutuhan khusus (ATBK) dan anak berkebutuhan khusus (ABK), hanya ada
modifikasi. Dari segi metode pembelajaran ada sedikit perbedaan yaitu adanya
metode pull out pada waktu-waktu tertentu. Metode pull out dilaksanakan ketika
siswa tuna netra ataupun siswa ABK lainnya mengalami kesusahan dalam pelajaran
dan meminta pembelajaran tersendiri untuknya. Metode pull out ini bias
dilaksanakan di luar jam pelajaran ada pula yang dilakukan bersamaan dengan jam
pelajaran. Tutor sebaya juga merupakan metode yang digunakan di SMK Negeri 8
Surakarta, karena hal ini cukup membantu siswa ABK yang mengalami kesusahan.
Contohnya : siswa yang pandai karawitan mengajari siswa tuna netra belajar
karawitan.
Ibu
Sri Saptaningsih juga memberikan penjelasan bahwa media yang dipergunakan bagi
ATBK dengan ABK tunanetra pada intinya sama, hanya untuk anak ABK tuna netra
media yang digunakan diusahakan lebih konkret, konsep materi harus jelas, dan ABK tuna netra dapat merasakan,
mengalaminya secara langsung. Contohnya adalah konsep mengenai panas, maka
siswa tuna netra dikenalkan langsung dengan panas yaitu dengan cara tangannya didekatkan pada lilin yang menyala.
Dengan cara tersebut maka ABK tuna netra lebih memahami konsep panas. Sedangkan
untuk mata pelajaran yang biasa menggunakan kemampuan hafalan, pihak sekolah
meminjamkan mp4 yang berisi rekaman materi. Pinjaman mp4 ini boleh dibawa
pulang, sehingga ABK tuna netra ini dapat tetap belajar mandiri di rumah. Guru
juga dituntut lebih kreatif dalam membuat dan menggunakan media, agar ABK tuna
netra dapat memahami materi. Dalam menjelaskan materi pun guru harus memilih
diksi yang mudah dipahami oleh ABK tuna netra ,selain itu agar mereka dapat
membayangkan apa yang dijelaskan gurunya. Untuk menunjang kreativitas guru maka
diadakan training penulisan huruf Braille bagi guru-guru di SMK Negeri 8
Surakarta, sehingga saat ini para guru sudah memahami dan mampu menulis huruf
Braille walaupun belum terlalu mumpuni.
Model
tes di SMK Negeri 8 Surakarta sama seperti sekolah-sekolah lainnya, yaitu tes
dilakukan secara bersama-sama di dalam kelas. Akan tetapi ada kekhususan bagi
seluruh anak ABK, mereka dikumpulkan di ruang BK kemudian mengerjakan tes di
ruang BK. Bagi siswa tuna netra ada guru yang membacakan soalnya. Idealnya
siswa tuna netra itu kemudian mengerjakan soal dan menulis jawabannya dalam
huruf Braille, kemudian jawaban yang bertuliskan huruf Braille itu ditransfer
dalam huruf alphabet. Jawaban siswa tuna netra yang menggunakan huruf Braille
itu sebagai bukti otentik bahwa siswa tuna netra mengerjakan sendiri soal
tesnya. Akan tetapi kenyataanya, yang menulis jawaban adalah guru yang
membacakan soal, jawabannya murni dari siswa tuna netra. Hal ini sering terjadi
karena mengerjakan soal tes secara ideal dilakukan oleh siswa tuna netra
membutuhkan waktu lama, sehingga pihak sekolah mengijinkan guru yang menulis
jawabannya. Selain itu untuk seluruh siswa ABK diberikan tambahan waktu dalam
mengerjakan soal tes mengingat keterbatasan yang mereka miliki.
Di
SMK Negeri 8 Surakarta tidak ada guru pendamping khusus (GPK). Guru pendamping
khusus (GPK) ini akan didatangkan ke SMK Negeri 8 Surakarta ketika ada
kesulitan yang tidak dapat diatasi oleh pihak sekolah. GPK ini biasanya
didatangkan dari YKAB Surakarta.
Walaupun
siswa tuna netra mempunyai keterbatasan, akan tetapi keterbatasan ini tidak
menghalangi semangat mereka untuk berprestasi bahkan dalam olimpiade dan tetap
semangat untuk melanjutkan sekolah. Contohnya adalah siswa SMK Negeri 8
Surakarta, Maryatun yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, saat
ini Maryatun sedang melanjutkan studinya di ISI Solo. Kebanyakan dari lulusan
SMK Negeri 8 Surakarta yang ABK memilih untuk melanjutkan di ISI. Karena pada
dasarnya mereka berasal dari SMK.
Bagi
siswa ABK setiap hari senin – jumat mereka selalu mengunjungi ruangan BK,
karena pada hari-hari itu mereka harus berkoordinasi, lapor dan lain-lain.
Terkadang mereka juga menitipkan barang-barang mereka di ruang BK seperti
menitipkan kursi roda atau yang lainnya. Guru BK di SMK Negeri 8 Surakarta
mempunyai peranan penting terhadap ABK, karena Guru BK yang sering berkordinasi
dengan wali murid ABK mengenai hal-hal yang dapat menunjang kebaikan bagi ABK.
Menurut
penuturan Ibu Sri Saptaningsih di SMK Negeri 8 Surakarta terdapat 11 siswa ABK,
dengan rincian tuna netra 5 siswa (1 siswa kelas XII, 2 siswa kelas XI, dan 2
siswa kelas X), Tuna Daksa 1 siswa kelas XII, Low Vission 2 siswa (1 siswa
kelas XI dan I siswa kelas X), autis 1 siswa kelas XI, kurang pendengaran 1
siswa kelas X, dan amputasi lengan kanan kelas XII.
b. Dengan
Siswi Tuna Netra
Nama : Tri Rizki Wahyu Djari
Kelas : XII
Jurusan : Musik
Alamat : Vila Payung Indah A
no.38, Pundakpayung,Semarang
Hambatan : Buta total
Siswi tuna netra yang kami wawancarai ini
biasa dipanggil Rizki. Rizki sebenarnya berasal dari Jayapura, akan tetapi
sejak 3 tahun yang lalu pindah ke Semarang. Sebelumnya Rizki tinggal di asrama
YKAB Surakarta, akan tetapi sejak memasuki kelas XII ia pindah dan lebih
memilih kos di dekat sekolahnya SMK Negeri 8 Surakarta karena mendekati Ujian
Nasional. Ibu Kosnya mengantarnya ke sekolah ketika ia akan berangkat ke
sekolah.
Kebutaan
yang dialami Rizki tidak diperoleh sejak lahir. Awalnya ia adalah yang normal,
akan tetapi semuanya berubah ketika tahun 2005 ia mengidap penyakit hipertiroid
yaitu saat ia duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Penyakit
hipertiroid ini kemudian menyerang saraf matanya sehingga ia menjadi buta di
tahun 2008. Sampai saat ini Rizki masih mengkonsumsi obat untuk hopertiroid,
jika penyakitnya sembuh maka Rizki akan bisa melihat lagi. Terkadang saat
penyakitnya ini sedikit membaik, ia dapat melihat bayangan. Akan tetapi ketika
ia sedang mengalami stree maka tenggorokannya terasa sangat sakit sekali,
“seperti dicekik orang” ujar Rizki ketika kami wawancarai. Bagi Rizki yang
mengalami kebutaan, tidur merupakan hiburan yang cukup menyenangkan untuk
dirinya.
Walaupun
Rizki mengalami keterbatasan, Rizki mempunyai kelebihan, di antaranya ia lancar
berbahasa Inggris dan menurutnya bahasa Inggris itu lebih mudah daripada Bahasa
Jawa, selain itu ia tetap memiliki cita-cita yang tinggi. Awalnya ia ingin
menjadi pemusik, akan tetapi karena pariturenya susah, Rizki lebih memilih
menjadi Guru. Saat ini Rizki sedang mengurus pendaftaran SNMPTN di UNNES dengan
pilihan Pendidikan dan Sastra Inggris, dan di UNS ia memilih PLB dan PGSD.
2.4 PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI TUNANETRA
Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak
dapat melihat (KBBI, 1989:p.971) dan menurut literatur berbahasa Inggris visually
handicapped atau visual impaired. Pada umumnya orang mengira bahwa
tunanetra identik dengan buta, padahal tidaklah demikian karena tunanetra dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.
Anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak
yang rusak penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih
mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan (Scholl,
1986:p.29). Pengertian ini mencakup anak yang masih memiliki sisa penglihatan
dan yang buta.
Dengan demikian, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indera
penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam
kegiatan sehari-hari seperti orang awas.
Klasifikasi
yang dialami oleh anak tunanetra, antara lain :
v Menurut
Lowenfeld, (1955:p.219), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu
terjadinya ketunanetraan, yaitu :
- Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
- Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
- Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
- Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
- Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
- Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
v Klasifikasi
anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu :
1.
Tunanetra
ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki
hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti
program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang
menggunakan fungsi penglihatan.
2.
Tunanetra
setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan
sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu
mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
3.
Tunanetra berat
(totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
v
Menurut WHO, klasifikasi didasarkan
pada pemeriksaan klinis, yaitu :
1.
Tunanetra yang
memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang
penglihatan kurang dari 20 derajat.
2.
Tunanetra yang
masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang
dapat lebih baik melalui perbaikan.
v
Menurut Hathaway, klasifikasi
didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :
1.
Anak yang
memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh pelayanan
medik.
2.
Anak yang
mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata dapat
bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang khusus.
v
Kirk (1962:p.214) mengutip
klasifikasi ketunanetraan, yaitu :
1.
Anak yang buta
total atau masih memiliki persepsi cahaya sampai dengan 2/2000, ia tidak dapat
melihat gerak tangan pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
2.
Anak yang buta
dengan ketajaman penglihatan sampai dengan 5/200, ia tidak dapat menghitung
jari pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
3.
Anak yang masih
dapat diharapkan untuk berjalan sendiri, yaitu yang memiliki ketajaman
penglihatan sampai dengan 10/200, ia tidak dapat membaca huruf-huruf besar
seperti judul berita pada koran.
4.
Anak yang mampu
membaca huruf-huruf besar pada koran, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan
sampai dengan 20/200, akan tetapi ia tidak dapat diharapkan untuk membaca huruf
14 point atau tipe yang lebih kecil.
5.
Anak yang
memiliki penglihatan pada batas ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih, akan
tetapi ia tidak memiliki penglihatan cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan
yang memerlukan penglihatan dan anak ini tidak dapat membaca huruf 10 point.
v Menurut
Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan yang terjadi
pada mata, yaitu :
Kelainan ini
disebabkan karena adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila
cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat
diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu,
antara lain :
- Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
- Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.
- Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.
2.5 FAKTOR PENYEBAB KETUNANETRAAN
Faktor yang menyebabkan terjadinya ketunanetraan antara lain:
1. Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan
pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan
pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:
a. Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan
oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama
tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor
keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang
umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan
mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar melihat di malam
hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja
penglihatan pusat yang tertinggal.
b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan
karena proses pertumbuhan dalam kandungan dapat disebabkan oleh:
- Gangguan waktu ibu hamil.
- Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.
- Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
- Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
- Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
2. Post-natal
Penyebab ketunanetraan yang
terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara
lain:
- Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.
- Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
- Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:
- Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
- Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
- Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
- Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
- Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh darah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
- Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
- Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.
- Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.
2.6 KARAKTERISTIK ANAK TUNANETRA
1. Fisik (Physical)
Keadaan fisik
anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya. Perbedaan nyata
diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya.
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya :
- Mata juling
- Sering berkedip
- Menyipitkan mata
- (kelopak) mata merah
- Mata infeksi
- Gerakan mata tak beraturan dan cepat
- Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)
- Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
2. Perilaku (Behavior)
Ada beberapa gejala tingkah laku
yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan
penglihatan secara dini :
- Menggosok mata secara berlebihan.
- Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan.
- Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata.
- Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan.
- Membawa bukunya ke dekat mata.
- Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
- Menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi.
- Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
- Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
- Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh.
Penjelasan lainnya berdasarkan
adanya beberapa keluhan seperti :
- Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal.
- Banyak mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat.
- Merasa pusing atau sakit kepala.
- Kabur atau penglihatan ganda.
3. Psikis
Secara psikis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Mental/intelektual
Intelektual atau kecerdasan anak
tunanetra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ
anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang
sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka
lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya.
Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa
benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
b. Sosial
Hubungan sosial yang pertama
terjadi dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain
yang ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga
yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan,
gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk
menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya.
Tunanetra mengalami hambatan
dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
- Curiga terhadap orang lain
- Perasaan mudah tersinggung
- Ketergantungan yang berlebihan
5. Low Vision
Beberapa ciri yang tampak pada anak low vision antara lain:
- Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat.
- Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
- Mata tampak lain; terlihat putih di tengah mata (katarak) atau kornea (bagian bening di depan mata) terlihat berkabut.
- Terlihat tidak menatap lurus ke depan.
- Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu.
- Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari.
- Pernah menjalani operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas.
2.7
STRATEGI BELAJAR
Permasalahan strategi pembelajaran dalam pendidikan anak tunanetra
didasarkan pada dua pemikiran, yaitu :
1) Upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai
dengan kondisi anak (di satu sisi).
2) Upaya pemanfaatan secara optimal
indera-indera yang masih berfungsi, untuk mengimbangi kelemahan yang disebabkan
hilangnya fungsi penglihatan (di sisi lain).
Dalam pembelajaran anak tunanetra, terdapat prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan, antara lain :
1) Prinsip Individual
Prinsip individual adalah prinsip umum dalam pembelajaran manapun (PLB
maupun pendidikan umum) guru dituntut untuk memperhatikan adanya
perbedaan-perbedaan individu. Dalam pendidikan tunanetra, dimensi perbedaan
individu itu sendiri menjadi lebih luas dan kompleks. Di samping adanya
perbedaan-perbedaan umum seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan,
sosial, dan budaya, anak tunanetra menunjukkan sejumlah perbedaan khusus yang
terkait dengan ketunanetraannya (tingkat ketunanetraan, masa terjadinya
kecacatan, sebab-sebab ketunanetraan, dampak sosial-psikologis akibat
kecacatan, dll). Secara umum, harus ada beberapa perbedaan layanan pendidikan
antara anak low vision dengan anak yang buta total. Prinsip layanan
individu ini lebih jauh mengisyaratkan perlunya guru untuk merancang strategi
pembelajaran yang sesuai dengan keadaan anak. Inilah alasan dasar terhadap
perlunya (Individual Education Program – IEP).
2) Prinsip kekonkritan/pengalaman Penginderaan
Strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru harus memungkinkan anak
tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya.
Dalam bahasa Bower (1986) disebut sebagai pengalaman penginderaan langsung.
Anak tunanetra tidak dapat belajar melalui pengamatan visual yang memiliki
dimensi jarak, bunga yang sedang mekar, pesawat yang sedang terbang, atau
seekor semut yang sedang mengangkut makanan. Strategi pembelajaran harus
memungkinkan adanya akses langsung terhadap objek, atau situasi. Anak tunanetra
harus dibimbing untuk meraba, mendengar, mencium, mengecap, mengalami situasi
secara langsung dan juga melihat bagi anak low vision. Prinsip ini
sangat erat kaitannya dengan komponen alat/media dan lingkungan pembelajaran.
Untuk memenuhi prinsip kekonkritan, perlu tersedia alat atau media pembelajaran
yang mendukung dan relevan. Pembahasan mengenai alat pembelajaran akan
disampaikan pada bagian khusus.
3) Prinsip Totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru haruslah memungkinkan siswa untuk
memperoleh pengalaman objek maupun situasi secara utuh dapat terjadi apabila
guru mendorong siswa untuk melibatkan semua pengalaman penginderaannya secara
terpadu dalam memahami sebuah konsep. Dalam bahasa Bower (1986) gagasan ini
disebut sebagai multi sensory approach, yaitupenggunaan semua alat
indera yang masih berfungsi secara menyeluruh mengenai suatu objek. Untuk
mendapatkan gambaran mengenai burung, anak tunanetra harus melibatkan perabaan
untuk mengenai ukuran bentuk, sifat permukaan, kehangatan. Dia juga harus
memanfaatkan pendengarannya untuk mengenali suara burung dan bahkan mungkin
juga penciumannya agar mengenali bau khas burung. Pengalaman anak mengenai
burung akan menjadi lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan anak yang hanya
menggunakan satu inderanya dalam mengamati burung tersebut. Hilangnya
penglihatan pada anak tunanetra menyebabkan dirinya menjadi sulit untuk
mendapatkan gambaran yang utuh/menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak bisa
diamati secara seretak (suatu situasi atau benda berukuran besar). Oleh sebab
itu, perabaan dengan beberapa tekhnik penggunaannya menjadi sangatlah penting.
4) Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity)
Strategi pembelajaran haruslah memungkinkan atau mendorong anak tunanetra
belajar secara aktif dan mandiri. Anak belajar mencari dan menemukan, sementara
guru adalah fasilitator yang membantu memudahkan siswa untuk belajar dan
motivator yang membangkitkan keinginannya untuk belajar. Prinsip ini pun
mengisyaratkan bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa untuk
bekerja dan mengalami, bukan mendengar dan mencatat. Keharusan ini memiliki
implikasi terhadap perlunya siswa mengetahui, menguasai, dan menjalani proses
dalam memperoleh fakta atau konsep. Isi pelajaran (fakta, konsep) adalah penting
bagi anak, tetapi akan lebih penting lagi bila anak menguasai dan mengalami
guna mendapatkan isi pelajaran tersebut.
2.8 HAMBATAN PELAKSAAN PENDIDIKAN ANAK
TUNANETRA
Pada umumnya
anak tunanetra mengalami berbagai hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan
timbulnya beberapa masalah antara lain:
1. Curiga terhadap orang lain
Akibat dari
keterbatasan rangsangan visual, anak tunanetra kurang mampu berorientasi dengan
llingkungan, sehingga kemampuan mobilitaspun akan terganggu. Sikap berhati-hati
yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain.
Untuk
mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan bergerak dan berbuat, maka
latihan-latihan orientasi dan mobilitas, upaya mempertajam fungsi indera
lainnya akan membantu anak tunanetra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan rasa
percaya diri.
2. Perasaan mudah tersinggung
Perasaan
mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang
diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan kecewa menjadikan
seorang tunanetra yang emosional.
3. Ketergantungan yang berlebihan
Ketergantungan
ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung
mengharapkan pertolongan orang lain. Anak tunanetra harus diberi kesempatan
untuk menolong diri sendiri, berbuat dan bertanggung jawab. Kegiatan sederhana
seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan sendiri sejak
kecil.
Kebanyakan
anak tunanetra memang cenderung memiliki berbagai
masalah baik yang berhubungan dengan masalah pendidikan, sosial, emosi,
kesehatan, pengisian waktu luang, maupun pekerjaan. Permasalahan tersebut perlu
diantisipasi dengan memberikan layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan
dan kesempatan yang luas bagi anak tunanetra sehingga permasalah yang timbul dalam berbagai aspek dapat
ditanggulangi sedini mungkin. Sedangkan pada tahapan
sensori motorik, hambatan sosial yang dialami anak tunanetra secara langsung
akan menghambat kemampuannya dalam pengamatan dan penginderaan terhadap dunia
sekitarnya. Namun secara umum anak
tunanetra cenderung memiliki daya ingat yang tinggi tapi rendah dalam
penguasaan konsep dan memiliki indera pendengaran yang sangat tajam.
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Tunanetra adalah
seseorang yang memiliki Hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan.
2. Faktor penyebab ketunanetraan antara
lain pre-natal (saat dalam kandungan) dan post-natal (saat bayi dan setelahnya)
3. kurikulum antara anak tidak berkebutuhan khusus (ATBK) dan
anakberkebutuhan khusus (ABK), hanya ada modifikasi.
4.
Dari segi metode
pembelajaran ada sedikit perbedaan yaitu adanya metode pull out pada
waktu-waktu tertentu. Tutor sebaya juga merupakan metode yang digunakan di SMK Negeri 8
Surakarta, karena hal ini cukup membantu siswa ABK yang mengalami kesusahan.
Contohnya : siswa yang pandai karawitan mengajari siswa tuna netra belajar
karawitan.
5.
Media yang dipergunakan bagi ATBK dengan ABK tunanetra pada intinya
sama, hanya untuk anak ABK tuna netra media yang digunakan diusahakan lebih
konkret, konsep materi harus jelas, dan
ABK tuna netra dapat merasakan, mengalaminya secara langsung. Contohnya adalah
konsep mengenai panas, maka siswa tuna netra dikenalkan langsung dengan panas
yaitu dengan cara tangannya didekatkan
pada lilin yang menyala.
6.
Model tes di SMK Negeri 8
Surakarta sama seperti sekolah-sekolah lainnya, yaitu tes dilakukan secara
bersama-sama di dalam kelas. Akan tetapi ada kekhususan bagi seluruh anak ABK,
mereka dikumpulkan di ruang BK kemudian mengerjakan tes di ruang BK. Bagi siswa
tuna netra ada guru yang membacakan soalnya. Idealnya siswa tuna netra itu
kemudian mengerjakan soal dan menulis jawabannya dalam huruf Braille, kemudian
jawaban yang bertuliskan huruf Braille itu ditransfer dalam huruf alphabet
DAFTAR PUSTAKA